INDRAMAYU – DPC PDI Perjuangan Kabupaten Indramayu memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025, dengan menggelar upacara bendera, pemotongan tumpeng, dan diskusi pemikiran Bung Karno. Kegiatan ini digelar serentak oleh kader PDI Perjuangan di seluruh Indonesia, sesuai dengan instruksi Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Ketua DPC PDI Perjuangan Indramayu, H. Sirojudin, yang juga menjabat Ketua DPRD Indramayu, memimpin langsung jalannya upacara.

“Pancasila lahir dari Piagam Jakarta, kemudian dimantapkan pada 1 Juni. Momentum ini harus dijadikan refleksi politik kebangsaan,” ujarnya. Minggu, (1/6).

 

Usai upacara, diskusi politik digelar dengan melibatkan tokoh masyarakat dan politik lokal. Salah satu topik yang dibedah adalah pemikiran Bung Karno dalam konteks 100 hari pertama pemerintahan Bupati Indramayu Lucky Hakim Syaefudin.

Menurut Sirojudin, PDI Perjuangan bersikap sebagai mitra kritis dan strategis dalam sistem demokrasi Indonesia yang tidak mengenal oposisi formal.

“Kami akan mendukung program yang pro-rakyat. Tapi kalau ada kebijakan yang menyulitkan rakyat, kami wajib mengkritisi,” katanya.

 

Ia juga menyoroti program unggulan Indramayu Wadul milik Bupati Lucky, yang disebutnya belum memiliki arah jelas.

“Konsepnya mirip zaman Bupati sebelumnya, Nina Agustina, tapi belum tampak pelaksanaannya. Wadul ke siapa? Jangan sampai cuma jadi gimik. Harus ada wadah konkret untuk rakyat mengadu,” ucapnya.

Terkait dinamika di DPRD, Sirojudin menjelaskan pembahasan tiga peraturan penting Pansus 5 tentang pemerintahan desa yang masih menunggu aturan turunan dari pusat, revisi Perda 6 tentang persampahan, serta rancangan peraturan daerah tentang Pendapatan dan Retribusi Daerah (PDRD).

Ia menolak kenaikan retribusi sebesar 0,5 persen karena dinilai memberatkan warga.

“Kalau dikalkulasi jumlahnya sangat besar. Kami minta dievaluasi dulu. Kalau belum disepakati, belum bisa dikirim ke provinsi untuk dievaluasi Gubernur,” katanya.

 

Sirojudin juga mengkritik kebijakan penggantian nama proyek dan pencopotan simbol era pemerintahan sebelumnya, termasuk perubahan nama Tol Indra Jati menjadi Kerta Ayu, serta penghilangan prasasti di Alun-Alun Puswawangi.

“Saya tidak setuju dengan kebiasaan mengganti-ganti nama yang terkesan tidak menghargai pemimpin sebelumnya. Bu Nina tidak pernah melakukan itu, bahkan saat ada kesempatan,” pungkasnya.**

(Red/BS)

Share.
Exit mobile version