Banyak SPBU, kita sering melihat tulisan besar “Dilarang Mengambil Gambar/Fotografi di Area SPBU” seolah pom bensin itu kawasan militer. Wartawan pun tak luput jadi sasaran diusir, ditegur, bahkan diancam saat mengambil dokumentasi untuk keperluan berita.
Lalu pertanyaannya, apakah wartawan benar-benar tidak boleh ambil gambar di SPBU?
Jawabannya sederhana: boleh, asalkan tahu rambu-rambunya.
Dalam negara demokrasi, wartawan dilindungi UU Pers No. 40 Tahun 1999. Wartawan memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Termasuk di ruang-ruang publik seperti SPBU, apalagi jika peliputannya menyangkut:
- Distribusi BBM subsidi,
- Praktik penimbunan,
- Antrean panjang yang merugikan rakyat,
- Atau pelayanan publik yang tidak manusiawi.
Jangan asal sweeping kamera wartawan! SPBU bukan milik pribadi. BBM yang dijual di sana sebagian besar berasal dari uang negara dari rakyat.
Memang betul, penggunaan flash kamera di SPBU bisa berbahaya. Uap bensin mudah terbakar dan kilatan cahaya bisa memicu ledakan. Tapi masalahnya, larangan total terhadap wartawan memotret tidak bisa dibenarkan.
Solusinya? Edukasi. Bukan pelarangan membabi buta.
Wartawan profesional tahu batas. Mereka bisa mengambil gambar dari jarak aman, tanpa flash, dan tanpa mengganggu aktivitas pengisian. Mereka bahkan bersedia mengedit atau menyamarkan visual yang sensitif demi keselamatan.
Jika wartawan menghadapi penghalangan informasi, atau mendapati dugaan praktik ilegal di SPBU, maka mereka tetap bisa menjalankan tugas investigasi, bahkan dengan cara diam-diam selama sesuai kode etik jurnalistik dan bertujuan untuk kemaslahatan publik.
Banyak kasus besar terbongkar justru karena ada kamera jurnalis yang merekam hal-hal yang coba ditutupi.
Wartawan bukan musuh negara. Mereka bukan ancaman, tapi cermin yang merekam realita. Jangan jadikan SPBU sebagai zona anti-publik, apalagi zona anti-pengawasan.
Kami minta pihak pengelola SPBU:
- Tidak asal melarang wartawan ambil gambar.
- Memberikan ruang peliputan yang aman.
- Tidak memonopoli narasi dengan dalih “keamanan”.
Kalau memang tak ada yang salah, kenapa harus takut direkam? .** (Red/BS)